Panduan Lengkap Puasa Ramadhan:
Dalil, Tata Cara, dan Ketentuannya
Dalam
perhitungan kalender Hijriah, bulan Ramadhan merupakan bulan ke-9. Pada bulan
ini umat Muslim yang sudah baligh, mampu, sehat dan bukan dalam dalam keadaan
bepergian jauh (jarak 82 km), wajib untuk melakukan puasa selama satu bulan
penuh.
Menurut
Syekh Hasan bin Ahmad al-Kaff, alasan penamaan ‘Ramadhan’ pada bulan ini karena
dulu saat penamaannya bertepatan dengan cuaca yang sangat panas. ‘Ramadhan’
sendiri berasal dari kata الرَّمْضَاءُ (al-ramdhâ’) yang artinya sangat panas.
Ada juga yang mengatakan, kata ‘panas’ itu diidentikkan dengan pembakaran
(pengampunan) dosa, karena ampunan Allah terbuka lebar pada bulan tersebut.
(Hasan al-Kaff, Al-Taqrîrât al-Sadîdah, h. 433)
Dalil
Puasa Ramadhan Terkait dalil kewajiban berpuasa, sudah Allah swt tegaskan dalam
firman-Nya, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 183)
Rasulullah
ﷺ juga bersabda, بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ
إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ
الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ (رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)
Artinya: “Islam dibangun di atas lima perkara: (1) bersaksi bahwa tidak
ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan Allah; (2) menunaikan shalat; (3) menunaikan zakat; (4)
menunaikan haji ke Baitullah; dan (5) berpuasa Ramadhan” (HR al-Bukhari dan
Muslim).
Keutamaan
Puasa Ramadhan Sebagai bulan paling mulia, melakukan puasa Ramadhan pada bulan
itu memiliki banyak sekali keutamaan. Berikut adalah beberapa di
antaranya: 1. Diangkatnya derajat Salah satu keutamaan yang
diperoleh bagi orang yang melaksanakan puasa Ramadhan adalah derajatnya di sisi
Allah swt. akan diangkat. Terkait ini, Syekh ‘Izzuddin (w. 1181 M) mengutip
salah satu hadits Nabi yang berbunyi, إِذَا جَاءَ رَمَضَانَ فُتِحَتْ
أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنَ
Artinya: “Ketika Ramadhan tiba, dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah
pintu-pintu neraka dan setan pun dibelenggu” (HR Imam Muslim).
Menurut
Syekh ‘Izuddin, maksud dibukanya pintu surga adalah pada bulan Ramadhan ada
banyak amal ibadah yang menyebabkan dibukanya pintu surga. Sementara maksud
dikuncinya pintu neraka adalah karena pada bulan tersebut sedikit perbuatan
maksiat yang menyebabkan dikuncinya pintu neraka. Sedangkan maksud setan
dibelenggu karena saat kondisi berpuasa, setan tidak menggoda manusia untuk
bermaksiat (‘Izzuddin, Maqâshidush Shaum, h. 12). 2. Sebagai
kontrol syahwat Keutamaan lain dari berpuasa adalah mampu mengontrol syahwat.
Ketika syahwat berhasil dikontrol, akan terhindar dari godaan setan karena
syahwat merupakan pintu masuk utamanya. Jika setan tidak menggoda, akan
terhindar hari perbuatan maksiat.
Rasulullah
ﷺ bersabda: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ،
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa
yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih bisa
menundukkan pandangan dan lebih mudah menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum
mampu menikah, maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu adalah penekan
syahwatnya” (HR Imam Ahmad dan Imam al-Bukhari).
Menurut
Imam al-Ghazali (w. 1111 M), sumber utama perbuatan maksiat adalah hawa nafsu.
Sementara ‘bahan bakar’ nafsu itu sendiri adalah makanan. Saat seseorang
berpuasa, secara otomatis konsumsi makanan dalam tubuh berkurang. Dengan
begitu, ia mampu menundukkan hawa nafsu dan mencegah diri dari perbuatan
maksiat. (Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmiddîn, juz 3, h. 35). 3.
Dilipatgandakan pahala Dalam kalkulasi pahala, setiap amal ibadah akan dibalas
sebesar 10, kali lipat 700 kali lipat, sampai besaran yang Allah kehendaki.
Berbeda dengan puasa. Menurut Imam Al-Qruthubi (w. 1273 M), saking besar pahala
yang diperoleh orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, sampai-sampai hanya Allah
yang tahu besarannya.
Sebagaimana
disabdakan oleh Rasulullah ﷺ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ
عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ
الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ Artinya, “Setiap
amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh
kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku.
Aku sendiri yang akan membalasnya” (HR Muslim) (Hasan al-Musysyat, Is’âfu Ahlil
Îmân, h. 34).
Bahkan,
menurut Syekh Utsman Syakir dalam dengan mengutip Abul Hasan menjelaskan,
setiap ibadah akan dibalas surga oleh Allah. Berbeda dengan puasa, pahalanya
adalah langsung bersua dengan Allah di akhirat nanti, tanpa ada penghalang (hijâb)
apapun. Dalam klasifikasi pahala, level pahala tertinggi adalah berjumpa dengan
Allah kelak. (Utsman Syakhir, Durratun Nâshihîn, h. 13). Baca juga:
Syarat Wajib dan Rukun Puasa Ramadhan Waktu Puasa Ramadhan Puasa
Ramadhan dilaksanakan selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan. Dalam hal
ini, penentuan kapan memasuki dan kapan berakhirnya bulan Ramadhan diputuskan
oleh pemerintah melalui Kementrian Agama dengan menggunakan metode ru’yah
(aktivitas mengamati visibilitas hilal, penampakan bulan sabit yang tampak
pertama kali setelah terjadinya ijtimak) dan hisab (perhitungan secara
matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan).
Untuk
durasinya, sama seperti puasa pada umumnya, yaitu dari mulai terbit fajar
sampai terbenamnya matahari. Selama durasi tersebut ia mesti mencegah dari
hal-hal yang membatalkan puasa sebagaimana puasa-puasa lain. Baca
juga: Delapan Hal yang Membatalkan Puasa Lafal Niat Puasa Ramadhan
Bagi orang yang hendak melaksanakan puasa Ramadhan, ia wajib untuk berniat puasa.
Terhitung sejak matahari terbenam sampai terbit fajar.
Berikut
adalah lafal niatnya: نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ
رَمَضَانِ هٰذِهِ السَّنَةِ لِلّٰهِ تَعَالَى Nawaitu shauma ghadin
‘an adâ’i fardli syahri Ramadlâni hâdzihis sanati lillâhi ta‘âlâ
Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan
Ramadhan tahun ini karena Allah ta’âlâ.”
Menurut
mazhab Syafi’i, niat puasa Ramadhan wajib dilakukan pada setiap malamnya.
Artinya, satu niat untuk satu kali berpuasa. Sementara menurut Imam Malik,
diperbolehkan satu kali niat puasa untuk satu bulan puasa penuh bulan Ramadhan.
Oleh
karena itu kita disunnahkan berniat untuk satu bulan penuh pada malam pertama
Ramadhan, dengan tetap niat untuk puasa-puasa berikutnya. Supaya andaikan nanti
lupa niat, maka niat pada malam pertama itu bisa mencukupi. (Qalyubi, Hâsyiyah
Qalyûbî, juz 5, h. 365). Berikut adalah lafal niat untuk satu bulan
penuh, sebagaimana dijelaskan oleh KH A Idris Marzuki (w. 2014 M) dalam kitab
Sabîl al-Hudâ: نَوَيْتُ صَوْمَ جَمِيْعِ شَهْرِ رَمَضَانِ هٰذِهِ السَّنَةِ
تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالَى Nawaitu
shauma jamî’i syahri ramadlâni hadzihissanati taqlîdan lil imâm mâlikin fardlan
lillâhi ta’âlâ. Artinya: “Saya berniat puasa selama satu bulan
Ramadhan tahun ini dengan mengikuti Imam Malik, fardhu karena Allah ta’âlâ.”
(KH A Idris Marzuki, Sabîl al-Hudâ, h. 51).
Konsekuensi
jika Meninggalkan Puasa Ramadhan Ada konsekuensi bagi orang yang meninggalkan
puasa Ramadhan. Syekh Salim bin Sumair dalam Safînah an-Najâh menjelaskan,
adakalanya wajib qadlha sekaligus bayar fidyah, yaitu bagi orang yang tidak
berpuasa karena kekhawatiran pada selain dirinya (seperti ibu menyusui yang
khawatir terhadap kesehatan bayinya) dan orang yang memiliki tanggungan qadha
puasa Ramadhan, tetapi belum diqadha sampai datang bulan Ramadhan
berikutnya. Adakalanya hanya wajib qadha, hal ini banyak terjadi
seperti orang sakit ayan, orang yang melakukan perjalanan jauh, lupa niat pada
waktu malam, dan lain-lain. Adakalanya hanya wajib membayar fidyah tanpa qadha,
yaitu orang tua renta. Adakalanya tidak wajib qadha dan tidak wajib fidyah,
yaitu orang gila yang tidak sengaja gilanya. (Salim bin Sumair, Safînah
an-Najâh, h. 114)
Wallâhu
a’lam.
Ustadz
Muhamad Abror, pengasuh Madrasah Baca Kitab, Alumnus Pesantren KHAS Kempek
Cirebon, Mahasantri Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah
0 Comments