SUPERNOVA
GELOMBANG
DEE
Dimensi tak terbilang dan tak terjelang
Engkaulah ketunggalan sebelum meledaknya segala percabangan
Bersatu denganmu menjadikan aku mata semesta
Berpisah menjadikan aku tanya dan engkau jawabnya
Berdua kita berkejaran tanpa pernah lagi bersua
Mencecapmu lewat mimpi
Terjauh yang sanggup kujalani
Meski hanya satu malam dari ribuan malam
Sekejap bersamamu menjadi tujuan peraduanku
Sekali mengenalimu menjadi tujuan hidupku
Selapis kelopak mata membatasi aku dan engkau
Setiap napas mendekatkan sekaligus menjauhkan kita
Engkau membuatku putus asa dan mencinta
Pada saat yang sama
--------------------------------------------
Mata hijaunya menatapku tanpa kedip. Ia terdiam bebe- rapa saat sebelum menjawab dengan mantap, “First time.”
Aku berusaha mengembalikan perhatianku ke majalah yang sedang kupegang, tapi dari ekor mataku bisa kulihat bahwa matanya masih terus tertuju kepadaku, seakan menanti percakapan berikut.
“Business trip?” tanyanya lagi.
“Not really.” Kali ini aku menjawab ketus demi memadamkan semangat mengobrolnya.
Sejurus tangan tahu-tahu lewat di depan halaman yang tengah kubaca, memaksaku kembali menengok ke samping.
“Kell,” ia memperkenalkan diri.
“Alfa.” Aku menyambut jabat tangannya.
“This is going to be an interesting journey,” katanya lagi.
Senyumnya merekah, lalu pecah menjadi gelak ringan.
Giginya berderet putih, matanya bersinar ramah, suaranya renyah. Aku tak tahu apa yang lucu, tapi kini aku tahu ke- napa pramugari-pramugari tadi terhipnotis.
Aku ikut tertawa tanpa sebab selain tertular. “Yeah. I hope it is.”
Kell mengambil bandana hitam dari kantong belakang jinsnya, menebarkan sepetak kain itu di atas mukanya, lalu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Napasnya meng- embus panjang serupa siulan.
Aku pun kembali beralih ke majalah yang terputus sejak kehadirannya. Sayup, tahu-tahu terdengar Kell bersenandung lagu yang tak kukenal. Meski suaranya pelan, cukup jelas kutangkap liriknya yang memecah konsentrasiku membaca.
Cukup jelas untuk kunilai bahwa suaranya lumayan merdu meski mengganggu karena momennya tidak tepat.
“I am the eye in the sky… looking at you… I can read your mind.”
Ada denyut yang timbul di kepala belakang sebelah kanan, berangsur menguat dan akhirnya lebih mengganggu ketimbangg senandung Kell.
Pesawat kami mulai bergerak maju.
Aku memejamkan mata, berharap sakit kepalaku melenyap seiring pesawat ini mengudara menuju Jakarta.
Tiba-tiba pikiranku terantuk.
Aku teringat catatan yang pernah kubuat, juga diatas pesawat, saat perjalanan panjang dari Lhasa menuju
New York. Berdasarkan catatan itu, nyeri ini adalah tanda yang harus kuwaspadai. Mataku kembali terbuka, melirik ke segala arah. Ada sesuatu dalam pesawat ini.
Ada seseorang.
Peretas.
Infiltran.
Atau, Sarvara.
0 Comments