SULING MAS – KHO PING HO
Pada jaman
Akan tetapi, pada pagi hari di pertengahan musim chun ( semi ) itu,
banyak sekali tokoh-tokoh terkenal di dunia kang-ouw termasuk ketua-ketua
perkumpulan dari pelbagai aliran, orang-orang muda yang patut di sebut pendekar
silat, dan orang-orang aneh yang memiliki kesaktian, Datang membanjiri Nan-cao.
Apakah gerangan yang menarik
para kelana dan pe tualangan itu mendatangi Nan-cao? Ada pula hal yang menarik
mereka berdatangan dari tempat-tempat yang amat jauh.
Pertama adalah pengangkatan Beng-kauw ( Ketua
Agama Beng-kauw ) sebagai Koksu ( Guru Negara ) Kerajaan Nan Cao. Mereka
berdatangan untuk memberi selamat kepada Ketua Beng-kauw yang sudah amat
terkenal di dunia kang-ouw. Siapakah tidak mengenal Ketua Agama Beng-kauw yang
bernama Liu Gan dan berju-luk Pat-jiu Sin-ong ( Raja Sakti Berlengan Delapan )
Itu ? Pada masa itu, Pat-jiu Sin-ong Liu gan merupakan tokoh gemblengan yang
jarang ditemukan keduanya, jarang menemukan tanding. Selain memiliki kesaktian
hebat, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan juga merupakan pendiri Agama Beng-kauw atau
pembawa agama itu dari barat. Tidaklah mengherankan kalau apabila kini
tokah-tokoh dari partai persilatan besar seperti Siauw lim-pai, Kun-lun-pai,
Hoa-san-pai, dan lain-lain mengirim utusan untuk menghaturkan selamat atas
pengangkatan tokoh sakti ini sebagai Koksu Kerajaan Nan-cao.
Adapun hal kedua yang meyebabkan terutama kaum
muda, para pendekar perkasa dari pelbagai penjuru dunia ikut pula berdatangan,
adalah tersiarnya berita bahwa puteri tunggal Pat-jiu Sin-ong hendak
mempergunakan kesempatan berkumpulnya para tokoh persilatan itu untuk mencari
jodoh ! Tentu saja hal ini menggegerkan dunia kaum muda, menggerakan hati
mereka untuk ikut datang mempergunakan kesempatan baik mengadu untung. Siapa
tahu ! Nama Liu Lu Sian, puteri Ketua Beng Kauw itu sudah terkenal di
mana-mana. Terkenal sebagai seorang gadis yang selain tinggi ilmu silatnya,
juga memiliki kecantikan seperti dewi khayangan. Terkenal pula betapa gadis
jelita ini telah berani menolak pinangan-pinangan yang datangnya dari
orang-orang besar, dari putera-putera para ketua perkumpulan, bahkan menolak
pula pinangan dari istana beberapa kerajaan !
Tentu saja para pemuda inipun sebagian besar hanya
ingin menyaksikan sendiri bagaimana ujud rupa dan bentuk dara yang terkenal
itu, karena jarang diantara mereka yang pernah melihat Liu Lu Sian. Yang pernah
bertemu dengan gadis ini memuji-muji setinggi langit, terutma sekali tentang
kecantikannya, yang menjadi buah bibir para muda, bahkan entah siapa orangnya
yang membuat, telah ada sajak pujian bagi Liu Lu Sian.
"Rambutnya Halus licin laksana sutera harum
melambai, meraih cinta asmara ! Mata indah, kerling tajam menggunting jantung,
bulu mata lentik berkedip mesra membuat bingung ! Hidung mungil, halus laksana
lilin diraut, cuping tipis bergerak mesra menambah patut ! Hangat lembut, merah
basah juwita Gendewa terpentang berisi sari madu Puspita !"
Banyak lagi puji-puji yang mesra bagi kejelitaan
dara ayu Liu Lu Sian, yang dikagumi siapa yang pernah melihatnya, dipuji dari
ujung rambut sampai ke telapak kakinya ! Memang sesungguhnyalah, Liu Lu Sian
seorang dara jelita.
Usianya baru enam belas tahun (pada jaman itu
sudah dewasa dan masak) Namun ilmu silatnya amat tinggi. Hal ini tidak
mengherankan karena semenjak kecilnya ia digembleng oleh ayahnya sendiri. Hanya
sayang bahwa sejak berusia dua tahun, Liu Lu Sian telah ditinggal mati ibunya.
Ia tidak pernah merasa kasih sayang ibu kandung dan mungkin hal ini yang
membuat ia menjadi seorang gadis yang berwatak aneh, riang gembira, lucu
jenaka, akan tetapi juga liar bebas, tak terkekang ingin menang dan berkuasa
saja, tidak mau tunduk kepada siapapun juga.
Para muda yang mendatangi Nan-Cao semua tahu
belaka betapa sukarnya memperoleh gadis puteri ketua Beng-kauw itu. Bagaikan
setangkai bunga, Lu Sian adalah bunga dewata yang tumbuh di puncak gunung yang
amat tinggi dan sukar didapatkan. Dara itu puteri tunggal Pat-Jiu Sin-ong yang
sakti, yang tentu saja menghendaki seorang mantu pilihan, baik dipandang dari
sudut keturunan, keadaan, maupun tingkat kepandainnya. Bahkan kabarnya dara itu
hanya mau menjadi isteri seorang pendekar muda yang mampu mengalahkan dirinya !
Namun, para muda yang sudah dimabok asmara, bagaikan serombongan semut yang
tertarik oleh harum dan manisnya madu, tidak takut bahaya, berusaha
mendapatkannya biarpun bahaya mengancam nyawa.
Tiada hentinya para muda itu mempercakapkan
tentang Lu Sian, memuji-muji kecantikannya, menyatakan harapan-harapan muluk
ketika mereka bermalam dirumah-rumah penginapan di kota raja sambil menanti
saat dibukanya kesempatan bagi mereka untuk memasuki halaman gedung Pat-jiu
Sin-ong beberapa hari lagi, dimana selain hendak ikut memberi selamat,
merekapun berharap akan dapat menyaksikan kehebatan dara yang mereka
percakapkan dan yang kembang mimpi mereka setiap malam.
Liu Lu Sian bukan tidak tahu akan hal ini. Gadis
yang manja ini maklum sepenuhnya bahwa ia menjadi bahan percakapan dan pujian.
Maka pada pagi hari itu, dua hari sebelum ayahnya menerima para tamu, ia
sengaja mengenakan pakaian indah, menunggang seekor kuda putih, lalu melarikan
kudanya mengelilingi kota raja ! Memang hebat dara ini. Wajahnya kemerahan,
berseri-seri dan pada kedua pipinya yang bagaikan pauh dilayang (merah jambu)
itu, nampak lesung pipit menghias senyum dikulum. Rambutnya yang hitam gemuk
digelung keatas, diikat rantai mutiara dan ujungnya bergantung dibelakang
punggung, halus melambai tertiup angin. Tubuhnya amat ramping, pinggangnya
kecil sekali dapat dilingkari jari-jari tangan agaknya, terbungkus pakaian
sutera merah muda bergaris pinggir biru dan kuning emas, ketat mancetak bentuk
tubuh yang padat berisi karena terpelihara dan terlatih semenjak kecil.
Pengait baju terbuat daripada benang emas yang
gemilang, ikat pinggangnya dari sutera biru yang bergerak-gerak bagaikan
sepasang ular hidup. Celananya sutera putih yang seakan membayangkan sepasang
kaki indah, padat berisi dan sempurna lekuk-lekungnya, diakhiri dengan sepasang
sepatu hitam yang berlapis perak. Cantik tak terlukiskan ! Menyaingi bidadari
sorga dengan gerak tubuh yang lemah gemulai dan elok, akan tetapi rangka pedang
yang tergantung dipinggangnya membuat ia lebih patut menjadi seorang Dewi Kwan
Im Pouwsat !
Kuda putih tunggangannya berlari congklang dan Lu
Sian memandang lurus ke depan namun ujung matanya menyambarkan kerling tajam
kesana-sini, terutama diwaktu kudanya lewat depan rumah-rumah penginapan dimana
para tamu muda berjajar depan pintu dengan mata jalang dan mulut ternganga,
terpesona mengagumi dewi yang baru lewat.
Setelah dara ayu itu lenyap bayangannya, ributlah
para muda teruna itu. Makin parah penyakit asmara menggerogoti jantung. Makin
ramai percakapan mereka tentang Si Cantik manis. Rindu dendam dan harapan
mereka yang terbawa dari rumah ratusan bahkan ribuan li jauhnya terpenuhi
sudah. Mereka dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri dewi pujaan hati
mereka. Dan betapa tidak mengecewakan pemandangan itu. Bahkan melebihi semua
dugaan dan mimpi. Tergila-gila belaka mereka setelah Lu Sian Lewat di atas
kudanya.
"Aduh ..., mati aku ...! Kalau aku tidak
berhasil menggandengnya pulang, percuma aku hidup lebih lama lagi...!"
Seorang pemuda tampan tanpa ia sadari mengucapkan kata-kata ini sambil menarik
napas panjang.
"Lebih baik mati di bawah kaki si jelita dari
pada pulang bertangan hampa !" sambung pemuda ke dua.
"Siapa tahu, rejekiku besar tahun ini menurut
perhitungan peramal ! Jodohku seorang gadis bermata bintang. Dan matanya...! Ah
, matanya..., Kalah bintang kejora !" kata pemuda lain.
"Mulutnya yang hebat ! Amboooiii
mulutnya...ah, ingin aku menjadi buah apel agar dimakannya dan berkenalan
dengan bibir itu. Aduhhh...!"
Bermacam-macam seruan para muda itu yang seakan
lupa diri, menyatakan perasaan hati masing-masing yang menggelora. Sudah lajim
kalau sekumpulan orang muda bercakap-cakap, mereka lebih berani manyatakan
perasaan hati masing-masing sehingga percakapan itu menjadi hangat dan
kadang-kadang terdengar kata-kata yang kurang sopan. Apalagi para muda yang
tergila-gila pada seorang gadis jelita ini adalah orang-orang kang-ouw,
pemuda-pemuda kelana kelana dan petualang. Banyak sudah tempat mereka jelajahi,
cukup sudah dara-dara jelita mereka saksikan, namun baru sekali ini mereka
menjumpai dara secanti k Lu Sian. Melampaui semua kembang mimpi.
Tujuh orang pemuda yang berkumpul dalam sebuah
rumah penginapan itu adalah pendekar-pendekar muda dari beberapa partai.
Seperti biasa, karena merasa segolongan dan setujuan, mereka lekas bersahabat
dan selain menuturkan pengalaman masing-masing yang biasanya mereka lebihi, juga
mereka tiada habisnya memuji-muji dan membicarakan diri Liu Lu Sian yang
diam-diam mereka perebutkan. Setelah Lu Sian yang lewat di depan rumah
penginapan itu, sampai jauh malam para pemuda ini bicara tentang Lu Sian dan
masing-masing menyatakan harapan menjadi orang yang terpilih dengan
mengemukakan dan menonjolkan keistimewaan masing-masing.
"Sebagai puteri Beng-kauw, tentu
kepandaiannya amat tinggi dan belum tentu aku mampu menandinginya. Akan tetapi,
ilmu golokku yang terkenal dan nama Ilmu Golok Pelangi di Awan Biru memiliki
keindahan yang melebihi keindahan seni tari manapun juga. Siapa tahu, keindahan
seni permainan golokku akan menawan hatinya !" kata pemuda muka putih
dengan pandang mata merenung penuh harapan dan di depan matanya terbayanglah mulut
manis Lu Sian, karena dialah yang jadi tergila-gila oleh mulut manis itu dan
ingin menjadi buah apel !
"Aku tidak punya kedudukan, orang tuaku
miskin dan akupun tidak berpendidikan, tidak pandai tulis baca. Akan tetapi,
biarpun ilmu silatku mungkin tidak setinggi dia, aku memiliki tenaga besar yang
boleh diukur dengan tenaga siapapun juga." kata pemuda tinggi besar yang
matanya lebar.
"Mudah-mudahan nona Lu Sian sudi memandang
nama besar Kun-lun-pai sehinga aku sebagai murid kecil Kun-lun-pai akan menarik
perhatiannya." kata pemuda ke tiga yang tampan juga. Demikianlah, tujuh
orang pemuda itu menonjolkan keistimewaan masing-masing dengan harapan dialah
yang akan terpilih.
Lewat tengah malam barulah mereka memasuki kamar
masing-masing, namun tentu saja mereka tak dapat tidur, karena di depan mata
mereka selalu terbayang wajah Liu Lu Sian. Maka ketika terdengar ada tamu baru
datang dan disambut oleh pengurus rumah penginapan, mereka bertujuh semua
keluar dan melihat tamu seorang pemuda berpakaian indah, berwajah tampan sekali
dan bersikap tenang memasuki ruang dalam.
"Maaf, Kongcu (tuan muda), bukan kami kurang
hormat terhadap tamu. Akan tetapi, kamar yang patut untuk Kongcu sudah penuh
semua. Kecuali kalau diantara para Enghiong (Pendekar) yang terhormat membagi
kamarnya..." Dengan ragu-ragu dan penuh harap pengurus penginapan itu
memandang ke arah tujuh pemuda yang sudah keluar dari kamar masing-masing
Tujuh orang muda itu memandang Si Pendatang baru
penuh perhatian. Pemuda ini berpakaian seperti orang terpelajar, gerak-geriknya
halus, sama sekali tidak membayangkan gerak seorang ahli silat. Otomatis orang
pendekar muda itu memandang rendah. Mana ada seorang pendekar suka membagi
kamar dengan kutu buku yang tentu akan menjemukan dan bicaranya tentu soal
kitab-kitab dan sajak belaka ? Pemuda itu agaknya maklum akan pandang mata
mereka, maka cepat-cepat ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, dan memberi
hormat berkata dengan penuh kesopanan.
"Harap Cu-wi Enghiong (Tuan-tuan Pendekar
Sekalian) sudi memberi maaf kepada siawte (aku yang muda). Tentu saja siawte
tidak berani menggangu para Enghiong, akan tetapi barangkali ada diantara para
Cu-wi yang sudi membagi kamar..." Ia berhenti bicara melihat mereka
mengerutkan kening, dan menanti jawaban. Ketika tidak ada jawaban datang, ia
tersenyum.
"Saudara siapakah dan dari golongan mana ?
Apakah tamu dari Beng-kauwcu Liu-locianpwe (Orang Tua Gagah she Ketua
Beng-kauw) ?" tanya pemuda tinggi besar yang bertenaga gajah.
"Siauwte she Kwee bernama Seng, orang lemah
seperti siauwte yang setiap hari menekuni huruf-huruf kuno, tidak dari golongan
mana-mana dan siauwte hanya pelancong biasa."
Hmm, maaf, kamarku sempit sekali."jawab si
Tinggi Besar kehilangan perhatian.
"Kamarku juga sempit." jawab orang ke
dua.
"Aku tidak biasa tidur berteman." kata
orang ke tiga.
"Maaf, maaf, memang siauwte tidak berani
mengganggu Cu-wi. Eh, Lopek, kau tadi bilang tentang kamar yang patut, apakah
masih ada kamar yang tidak patut ?" Kwee Seng menoleh kearah pengurus
penginapan sedangkan tujuh orang pendekar itu sudah kembali ke kamar
masing-masing dan menutupkan daun pintunya.
"Ah, ada.. Ada, Kongcu. Akan tetapi, itu
adalah kamar-kamar kecil di sebelah belakang, dahulu menjadi kamar pelayan,
tidak berani saya menawarkannya kepada Kongcu..."
Kwee Seng tersenyum.
"Tidak mengapa, Lopek. Malam sudah begini larut, mencari kamar di
penginapan lain pun repot. Biarlah aku bermalam di kamar pelayan itu."
Dengan tergopoh-gopoh
pengurus penginapan itu lalu mendahului Kwee Seng sambil membawa sebuah lampu,
mengantar tamunya ke sebuah kamar yang berada jauh di ujung belakang. Benar
saja, kamar ini kecil, hanya terisi sebuah pembaringan bambu yang setengah
reyot, lantainya tidak begitu bersih pula.
"Ah, cukup baik
!" seru Kwee Seng sambil menaruh bungkusan pakaiannya di atas pembaringan.
"Tidak usah kau tinggal lampumu, Lopek aku biasa tidur gelap. "Ia
menjatuhkan dirinya di atas pembaringan yang mengeluarkan bunyi berkereotan.
Pengurus penginapan itu keluar dari dalam kamar membawa lampunya sambil
menggeleng-geleng kepala saking heran melihat seorang kongcu berpakaian indah
itu kelihatannya sudah tidur pulas begitu tubuhnya menyentuh pembaringan, ia
menutupkan daun pintu perlahan-lahan.
Sebentar kemudian sekeliling tempat penginapan
sunyi. Pengurus dan penjaga pun sudah tidur . Yang terdengar hanya dengkur yang
keras dari kamar pemuda tinggi besar. Dari beberapa buah kamar lain terdengar
suara orang mengigau menyebut-nyebut nama Liu Lu Sian. Bahkan dalam mimpi
pemuda-pemuda ini selalu merindukan Lu Sian!
Suara mengigau ini keluar dari kamar pemuda anak
murid Kun-lun-pai. Tiba-tiba sebagai seorang ahli silat, pemuda tampan itu
meloncat turun dari pembaringannya ketika pendengarannya, atau agaknya lebih
tepat indera keenamnya, mendengar suara yang mencurigakan.
Dalam meloncat tadi sekaligus ia telah mencabut
pedangnya, dan sekali menggoncang kepalanya lenyaplah semua kantuk dan ia sudah
berada dalam posisi siap siaga, sepasang matanya melirik ke arah jendela kecil
kamarnya. Tiba-tiba jendela itu terbuka daunnya dari luar, dan muncullah
seorang laki-laki jangkung yang berusia empat puluh tahun lebih, bertangan
kosong. Orang ini memasuki kamar melalui jendela dengan gerakan ringan dan
sikap tenang saja.
"Siapa kau ? Mau apa..."
"Mau membunuhmu. Manusia macam kau berani
menyebut-nyebut peteri Beng-kauwcu harus mampus !" berkata bayangan
laki-laki itu dengan suara mendesis, lalu menerjang maju.
Pemuda Kun-lun-pai itu tentu saja tidak menjadi
gentar biarpun ia merasa kaget sekali. Pedangnya berkelebat dan
bergulung-gulung sinarnya di depan dada bermaksud melindungi dirinya saja
terhadap orang yang agaknya gila ini. Akan tetapi, tiba-tiba sekali gerakan
pedangnya berhenti seakan- akan tertahan oleh tenaga yang tak tampak dan
sebelum pemuda Kun-lun-pai ini tewas seketika tanpa dapat bersambat lagi !
Suara mendengkur dari kamar si Tinggi Besar
terhenti seketika. Jagoan bertenaga gajah ini pun biar tidurnya mendengkur,
Sedikit suara saja cukup membuat ia terjaga dari tidurnya. Kamarnya berada di
sebelah kamar murid Kun-lun-pai, maka ia mendengar suara dari dalam kamar itu,
cukup membuatanya terbangun dan curiga.
Karena tiap kamar penginapan terdapat jendela di
sebelah belakang, ia cepat membuka daun jendela dan... seperti kilat cepatnya
ia meloncat keluar dan menerkam seorang laki-laki yang berdiri di depan jendela
murid ku-lun-pai. Kedua lengannya yang kuat bergerak, dalam segebrakan saja si
Tinggi Besar berhasil mencekik leher orang itu.
"Hayo mengaku, siapa kau dan...uuhhh!"
Tubuh yang tinggi besar itu seketika menjadi lemas dan kepalanya miring, lalu
ia roboh tak berkutik lagi di depan laki-laki setengah tua yang jangkung itu !
"Apa yang kau lakukan ? Penjahat...!"
Sebatang golok menyambar dengan hebatnya membentuk
sinar melengkung seperti pelangi. Kiranya pemuda yang memiliki Ilmu Golok
Pelangi di Awan Biru telah turun tangan melihat ada orang merobohkan temannya
yang tinggi besar. Memang
indah gerakannya, gulungan sinar goloknya seperti gerakan pita dan selendang
para bidadari sedang menari-nari. Namun, dengan mudah bayangan itu menyelinap
di antara gulungan sinar golok dan belum juga empat jurus Si Pemuda menyerang,
ia sudah roboh pula terkena tamparan pada lehernya roboh untuk selamanya karena
nyawanya melayang.
Dengan gerakan tenang namun cepat sekali, si
Bayangan Maut itu menuju ke kamar yang lain. Namun belum sempat ia membuka
jendela, empat orang pemuda yang lain sudah berlari datang dan mengepungnya.
Mereka lalu berlari ke belakang dan segera mengepung si Bayangan Maut ketika
melihat betapa dua orang temannya sudah menggeletak pula tak bernyawa.
"Kalian harus mampus semua...!"
Bayangan itu mendengus, tubuhnya bergerak secara
aneh sekali, menyelinap diantara sambaran empat buah senjata para pengurungnya.
Hebat memang kepandaian bayangan maut ini. Empat orang pemuda yang
mengeroyoknya bukanlah pemuda-pemuda sembarangan. Mereka itu sudah terdidik
dalam ilmu silat yang cukup tinggi, setingkat dengan anak murid Kun-lun-pai dan
dengan si Tinggi Besar atau si Golok Pelangi. Namun menghadapi bayangan maut
ini, mereka tak mampu berbuat banyak. Lawan mereka yang mereka keroyok ini
seakan-akan hanya bayangan kosong tak mungkin dapat tersinggung senjata mereka.
Tiba-tiba bayangan itu terkekeh dan...setelah
terdengar suara "plak-plak-plak-plak !"empat kali, empat orang pemuda
itupun roboh, terpukul pada leher mereka dan tewas seketika !
Setelah membunuh tujuh orang pemuda itu, bayangan
ini berdiri dengan kaki terpentang lebar, mendongakkan mukanya ke atas sambil
tertawa. "Ha ha hah ! Alangkah lucunya !Orang-orang macam ini mengharapkan
seorang dewi seperti dia ! Ha ha hah !"
Kemudian, melihat suara ribut-ribut dari pengurus
penginapan yang agaknya terjaga, sekali meloncat ia sudah berada di atas
genteng, lalu bagaikan gerakan seekor kucing, ia berlari ke arah belakang tanpa
menimbulkan suara. Akan tatapi mendadak orang itu berseru perlahan ketika
kakinya terpeleset karena genteng yang diinjaknya merosot turun. Cepat ia
berjongkok di atas bangunan bagian belakang rumah penginapan itu dan membuka
genteng, mengintai.
Kiranya di situ terdapat seorang pemuda lagi yang
enak tidur telentang.Sebatang lilin kecil menyala di atas meja. Kepalanya
diganjal bantalan pakaian. Tidak tampak senjata di dalam kamar itu sehingga
bayangan itu mengerutkan kening. Seorang pemuda pelajar, pikirnya, tak mungkin
dia yang main-main denganku. Akan tetapi siapa tahu ? Ia mengeluarkan sebatang
jarum merah dan sekali jari-jari tangannya bergerak, melesatlah sinar merah ke
bawah melalui celah-celah genteng, menuju ke arah leher si pemuda yang tidur
telentang.
Pemuda di bawah itu yang bukan lain adalah Si
Pelajar Kwee Seng, menggeliat dan mengaluh seperti orang mengingau dalam
tidurnya,lalu miring. Akan tetapi tiba-tiba tubuh itu menegang kaget dan tak
bergerak-gerak lagi. Bayangan orang di atas genteng tersenyum puas melihat
korbannya yang ke delapan, maka ia bangkit berdiri dan cepat ia lari pergi dari
tempat itu, menghilang di dalam gelap !
"Tolong...! Pembunuhan...
pembunuhan...!!" Suara pengurus penginapan ini terdengar lantang sekali di
waktu fajar itu, mengagetkan semua orang. Para pelayan bersama para tamu
lainnya berbondong keluar dan sebentar saja di tempat pembunuhan sudah penuh
dengan orang. Obor-obor dan lampu-lampu dipasang sehingga keadaan menjadi
terang sekali. Pembunuhan yang sekaligus mengorbankan nyawa tujuh orang pemuda
kang-ouw benar-benar merupakan peristiwa hebat yang mengejutkan sekali.
Ketika pengurus penginapan melihat Kwee Seng
berada di antara banyak itu, ikut menjenguk dan melihat pemuda-pemuda teruna
yang menjadi korban pembunuhan aneh, pengurus itu segera memegang lengannya dan
berkata. "Ah, Kongcu benar-benar seorang yang masih dilindungi Thian
(Tuhan) ! Seandainya Kongcu diterima tidur dengan mereka, ah... tentu akan
bertambah seorang lagi korban pembunuh kejam ini !"
Kwee Seng hanya
menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum duka. Di dalam hatinya ia menyangkal keras pendapat
pengurus rumah penginapan ini. Andaikata ia diterima bermalam dengan mereka,
belum tentu iblis maut yang malam itu merajalela dapat menjatuhkan tangan
mautnya.
Diam-diam ia meraba jarum kecil yang ia masukkan
ke dalam saku bajunya, jarum merah yang malam tadi pun hampir membunuhnya.
Menyesallah hati Kwee Seng mengapa malam tadi ia tidak mengejar si penjahat
yang mencoba membunuhnya, dan mengapa ia begitu enak tidur sehingga ia tidak
tahu di bagian depan penginapan itu menjadi tempat penyembelihan tujuh orang
muda.
Kwee Seng adalah seorang mahasiswa gagal. Ia suka
sekali akan bun (sastra), bu (silat), namun bakatnya lebih menjurus kepada bu
(silat). Seorang pemuda yatim piatu, sebatang kara merantau tanpa tujuan.
Namun ilmu kepandaiannya amat tinggi, ilmu
silatnya sukar mendapatkan tandingan karena selain ia telah mempelajarinya dari
para pertapa sakti di puncak-puncak gunung sebelah barat, juga ia pernah
berjumpa dengan manusia dewa Bu Kek Siansu yang telah menurunkan beberapa macam
ilmu kepadanya.
Bu Kek Siansu terkenal sebagai manusia dewa yang
sewaktu-waktu muncul untuk mencari bahan baik, tulang pendekar berwatak
budiman, dan menurunkan ilmu. Tak seorang pun di dunia ini tahu dari mana
asalnya dan di mana tempat tinggalnya yang tetap.
Kwee Seng pernah mengikuti ujian di kota raja
namun gagal. Semenjak itu, ia tidak pernah kembali ke kampung halamannya, yaitu
di sebuah dusun kecil di kaki gunung Luliang-san, karena ayah bundanya sudah
lama meninggal dunia oleh wabah penyakit ketika ia masih kecil.
Ia merantau sebagai seorang kang-ouw yang tak
terkenal karena semua sepak terjangnya ia sembunyikan. Hanya beberapa orang
tokoh besar saja di dunia kang-ouw yang mengenal pendekar sakti muda ini, malah
diam-diam ia diberi julukan Kim-mo-eng (pendekar Setan Emas).
Ia disebut setan karena sepak terjangnya seperti
setan, tak pernah memperlihatkan diri. Akan tetapi ia di sebut emas yang
mengandung maksud bahwa pendekar ini berhati emas, membela kebenaran dan
keadilan, pembasmi kelaliman dan kekejaman. Namun nama ini hanya kalangan atas
terbatas saja pernah mendengar, di dunia kang-ouw nama Kim-mo-eng Kwee Seng tak
pernah terdengar.
Kwee Seng tidak berbohong ketika mengatakan kepada
ke tujuh orang pendekar pada malam yang lalu bahwa ia adalah seorang pelancong
yang kebetulan lewat di kota raja Nan-Cao. Memang ia tidak mempunyai niat untuk
menjadi tamu Beng-kauw, sungguhpun nama Pat-jiu Sin-ong bukanlah nama asing
baginya.
Ia tidak suka tokoh besar itu diangkat menjadi
koksu, hal yang ia anggap sebagai bukti kerakusan akan kedudukan dan kemuliaan.
Maka baginya, hal itu tidak perlu diberi selamat. Apalagi mendengar berita
tentang putri Pat-jiu Sin-ong yang hendak memilih jodoh, seujung rambutpun
tiada niat di hatinya untuk ikut-ikutan memasuki sayembara, bahkan ingin
melihat si jelita pun sama sekali ia tidak ada nafsu.
Memang demikianlah watak Kwee Seng. Ia memandang
rendah kepada hal-hal yang dianggapnya tidak benar atau menyimpang daripada
kebenaran. Padahal harus diakui bahwa ia adalah seorang pemuda yang baru
berusia dua puluh tiga tahun, yang tentu saja sebagai seorang pemuda normal,
selalu berdebar-debar apabila melihat seorang gadis cantik.
Ia seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki
watak romantis,suka akan keindahan, suka akan tamasya alam yang permai, suka
akan bunga yang indah dan harum, dan tentu saja bentuk tubuh seorang dara
jelita. Akan tetapi, kekuatan batinnya cukup untuk menekan semua perasaan ini
dan membuat ia tetap tenang.
Peristiwa pembunuhan di dalam rumah penginapan itu
membangkitkan jiwa satrianya.
Ia mendengar keterangan sana-sini dan tahu bahwa
tujuh orang pemuda itu adalah calon- calon pengikut sayembara untuk meminang
puteri Beng-kauwcu. Mendengar pula betapa pemuda-pemuda itu sudah kegilaan akan
Nona Liu Lu Sian, dara rupawan yang pada pagi hari kemarin lewat didepan rumah
penginapan.
Karena ini, diam-diam Kwee Seng menghubungkan
semua itu dengan pembunuhan. Agaknya karena mereka itu tergila-gila kepada Liu
Lu Sian maka malam ini menjadi korban pembunuhan keji. Entah apa yang menjadi
dasar pembunuhan , entah cemburu atau bagaimana. Namun yang pasti, untuk
mencari pembunuhnya ia harus datang menjadi tamu Beng-Kauw !
Inilah yang membuat Kwee Seng terpaksa menunda
perantauannya dan bersama dengan para tamu lainnya , ia pun melangkahkan kaki
menuju ke gedung keluarga Pat-jiu Sin-ong.
Rumah gedung keluarga Liu dihias meriah.
Pekarangan yang amat luas itu telah diatur menjadi ruangan tamu, dibagian
tengah agak mendalam yang letaknya lebih tinggi rauangan depan, kini
dipergunakan untuk tempat rumah dan para tamu yang terhormat atau para tamu
kehormatan.
Ruangan ini disambung dengan sebuah panggung
setinggi satu meter yang cukup luas dan panggung ini diperuntukkan untuk mereka
yang hendak bicara mengadakan sambutan, juga dibentuk semacam panggung tempat
main silat.
Panggung semacam ini memang lajim diadakan setiap
kali ada ahli silat mengadakan sesuatu, karena perayaan diantara ahli silat
tanpa pertunjukan silat akan merupakan hal yang janggal dan mentertawakan.
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan belum tampak di luar. Para
tamu disambut oleh tiga orang sute (adik seperguruan), yaitu pertama adalah Liu
Mo adik kandungnya sendiri, Liu Mo berusia empat puluh tahun lebih, sikapnya
tenang dan pendiam, sinar matanya membayangkan watak yang serius
(sungguh-sungguh) dan berwibawa.
Biarpun Liu Mo memiliki kepandaian yang cukup
tinggi dan merupakan orang ke dua dalam Beng-kauw, namun ia tetap sederhana dan
tidak mempunyai julukan apa-apa. Di dalam Beng-kauw, ia merupakan pembantu yang
amat berharga dari kakak kandungnya dan boleh boleh dikatakan untuk segala
urusan dalam, Liu Mo inilah yang sering mewakili kakaknya.
Orang ke dua adalah Ma Thai kun. Orangnya tinggi
kurus, wajahnya selalu keruh dan biarpun usianya baru tiga puluh enam tahun,
namun ia memelihara jenggot dan kelihatan lebih tua. Ia terkenal pemarah dan
wataknya keras, kepandaianya juga tinggi dan ilmu silatnya tangan kosong amat
hebat.
Segala macam pukulan dipelajarinya dan kedua
tangannya mengandung tenaga dalam yang amat dahsyat. Berbeda dengan Liu Mo yang
sabar dan berwibawa, orang ke tiga dari Beng-kauw ini menyambut tamu dengan
wajah gelap dan tak pernah tersenyum, juga ia memandang rendah kepada para
tamunya.
Orang ke tiga dari para wakil Ketua Beng-Kauw ini
usianya hampir tiga puluh tahun, akan tetapi wajahnya terang dan kelihatan
masih muda. Dandanannya sederhana sekali, bahkan lucu karena ia menggunakan
sebuah caping (topi berujung runcing) seperti dipakai para petani atau
penggembala.
Di punggungnya terselip sebatang cambuk yang biasa
dipergunakan para penggembala mengatur binatang gembalaannya! Memang murid
termuda ini seorang yang ahli dalam soal pertanian dan peternakan. Wajahnya
terang dan ia menerima para tamu dengan sikap hormat sekali.
Inilah Kauw Bian seorang pemuda desa yang menjadi
sute termuda dari Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Biarpun sikapnya sederhana dan
seperti seorang desa, akan tetapi jangan dipandang rendah kepandaiannya dan
pecut itu sama sekali bukanlah pecut biasa melainkan senjatanya yang ampuh!
Sebagaimana lazimnya para tokoh besar, mereka ini
selalu menahan "harga diri", tidak sembarangan orang dapat menjumpai
dan dalam menyambut tamu, biasanya diwakilkan dan kalau perlu barulah ia
sendiri muncul menemui tamunya.
Demikian pula Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ia pun
menahan harga dirinya dan seluruh para tamu sudah berkumpul semua dan tidak ada
lagi yang datang baru tokoh besar ini muncul di ruangan tuan rumah. Para tamu
segera bangkit berdiri memandang ke arah tuan rumah dengan kagum.
Memang patut sekali Liu Gan menjadi seorang tokoh
yang terkenal lebih tinggi daripada perawakan seorang laki-laki biasa. Kekar
dan berdiri tegak, dadanya lebar membusung, pakaiannya indah, pandang matanya
berwibawa. Kepalanya tertutup topi bulu yang terhias bulu burung rajawali.
Ketua Beng-Kau ini keluar sambil tersenyum-senyum
dan menjura ke arah para tamu lalu duduk. Para tamu juga lalu duduk kembali,
akan tetapi semua mata tetap terbelalak lebar memandang gadis yang keluar
bersama, Pat-jiu Sin-Ong.
Itulah dia, gadis yang kini menarik semua pandang
mata bagaikan besi sembrani menarik logam. Liu Lu Sian, dara jelita yang pada
saat itu mengenakan pakaian sutera putih terhias benang emas dan renda-renda,
merah muda. Cantik jelita bagaikan dewi khayangan!
Para muda melongo, ada yang menelan ludah, ada
yang lupa mengatupkan mulutnya, bahkan ada yang menggosok-gosok mata karena
merasa dalam mimpi! Namun orang yang menjadikan para muda terpesona itu tetap
duduk dengan tegak dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan bibir. Tapi
banyak pula yang memandang dengan hati ngeri.
Mereka semua, tua muda, sudah mendengar belaka
tentang peristiwa hebat di dalam rumah penginapan, dimana tujuh orang pendekar
muda yang tergila-gila kepada gadis ini terbunuh secara aneh.
Para tamu yang duduk di ruangan kehormatan mulai
bergerak menghampiri Pat-jiu Sin-ong menghaturkan selamat, diikuti tamu-tamu
lain. Pat-jiu Sin-ong menyambut pemberian selamat itu sambil tertawa-tawa dan
tidak berdiri dari bangkunya, sikap yang jelas memperlihatkan keangkuhannya.
Setelah para tamu memberi selamat, dan mereka
kembali ke tempat masing-masing, tiba-tiba Pat-jiu sin-ong berdiri dari
bangkunya memandang ke luar dan berseru keras. "Aha, saudara muda Kwee
Seng ! Kau datang juga hendak memberi selamat kepadaku? Bagus! Menggembirakan
sekali. Mari ke sini, kau mau duduk bersamaku!"
Tentu saja semua tamu menoleh ke arah luar untuk
melihat tamu agung manakah yang begitu menggembirakan Pat-jiu Sin-ong sehingga
tokoh ini sampai berdiri dan berseru menyambut segembira itu? Mereka mengira
bahwa yang datang tentulah seorang tokoh besar di dunia kang-ouw.
Akan tetapi alangkah heran hati mereka ketika
melihat seorang pemuda berpakaian sastrawan yang melangkah masuk ke ruangan itu
dengan langkah lambat dan sikap lemah-lembut. Seorang pelajar lemah seperti ini
bagaimana bisa mendapatkan perhatian begitu besar dari Pat-jiu Sin-ong yang
terkenal angkuh dan tidak memandang mata kepada tokoh-tokoh kang-ouw yang hadir
di situ?
Pemuda itu bukan lain adalah Kwee Seng. Memang
jarang ada orang kang-ouw mengenalnya, tetapi di antara sedikit tokoh besar
dunia kang-ouw yang tahu akan kehebatan orang muda ia adalah Pat-jiu Sin-ong,
karena Ketua Beng-kauw ini pernah bertemu dengan Kwee Seng ketika dia
mengunjungi Ketua Siauw-lim-pai, Kian Hi Hosiang yang sakti, memperlakukan
pemuda ini sebagai seorang tamu agung pula!
Inilah sebabnya maka Ketua Beng-kauw mengenal Kwee
Seng dan biarpun belum membuktikan sendiri kehebatan pemuda ini, ia sudah dapat
menduga bahwa pemuda yang di sambut demikian hormatnya oleh Ketua
Siauw-lim-pai, yang malah dijuluki Kim-mo-eng, tentulah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi.
Dengan tenang dan tersenyum ramah Kwee Seng menghampiri
tuan rumah menjura dengan hormat sambil berkata, "Liu-enghiong (Orang
Gagah She Liu), maafkan saya datang menggangu secawan dua cawan arak. Terus
terang saja, kebetulan lewat dan mendengar tentang keramaian di sini dan ingin
menonton.
"Akan tetapi sama sekali bukan untuk memberi
selamat. Makin tinggi kedudukan makin banyak keruwetan dan makin besar
kemuliaan makin besar pula kejengkelan, apa perlunya diberi selamat?"
"Ha-ha-ha-ha! Kata-katamu ini memang cocok
bagi orang yang mengejar kedudukan dan memperebutkan kemuliaan, yang tentu saja
hanya akan menemui kejengkelan dan memperbanyak permusuhan. Akan tetapi aku
menjadi koksu (guru negara) untuk membimbing pemerintahan negaraku yang
dipimpin oleh keluargaku sendiri.
"Ini namanya panggilan negara dan bangsa,
kewajiban seorang gagah. Akupun tidak butuh pemberian selamat yang semua palsu
belaka, basa-basi palsu, berpura-pura untuk mengambil hati. Ha-ha-ha! Lebih
baik yang jujur seperti kau ini, Kwee-hiante. Mari duduk!"
Dengan gembira tuan rumah menggandeng tangan Kwee
Seng, diajak duduk semeja dan segera Liu Gan memerintahkan pelayan mengambil
arak terbaik dari cawan perak untuk Kwee Seng.
"Liu-enghiong, aku mendengar pula bahwa kau
hendak mencari mantu dalam perayaan ini..."
Ah, anakku yang ingin mencari jodoh. He, Lu Sian,
perkenalkan ini sahabat baikku, Kwee Seng!" Ketua Beng-kauw itu dengan
bebas berteriak kepada puterinya. Liu Lu Sian sejak tadi memang memperhatikan
Kwee Seng yang disambut secara istimewa oleh ayahnya.
Biarpun pemuda ini gerak-geriknya halus seperti
orang lemah, namun melihat sinar matanya, Lu Sian dapat menduga bahwa Kwee Seng
adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Mendengar seruan ayahnya ia lalu bangkit berdiri
lalu menghampiri Kwee Seng sambil merangkapkan kedua tangannya.
"Kwee-kongcu (Tuan Muda Kwee), terimalah hormatku!" katanya dengan
suara merdu dan bebas, gerak-geriknya manis sama sekali tidak malu-malu atau
kikuk seperti sikap gadis biasa.
Kwee Seng sejak tadi hanya memperhatikan Liu Gan
saja maka tidak tahu bahwa di ruangan itu terdapat gadis puteri Liu Gan yang
kecantikannya telah banyak pemuda tergila-gila, bahkan agaknya yang telah
menjadi sebab daripada akibat mengerikan di rumah penginapan malam kemarin.
Mendengar suara merdu ini ia menengok dan... pemuda
itu berdiri terpesona, sejenak ia tidak dapat berkata-kata, bahkan seakan-akan
dalam keadaan tertotok jalan darah di seluruh tubuhnya, tak dapat bergerak
seperti patung batu! Belum pernah selama hidupnya ia terpesona oleh kejelitaan
seorang wanita seperti saat itu. Mata itu!
Bening bersih gilang-gemilang tiada ubahnya
sepasang bintang kerling tajam menggores jantung kedip mesra membuat bingung
Bulu mata lentik berseri bagai rumput panjang di
pagi hari sepasang alis hitam kecil melengkung menggeliat-geliat malas kedua
ujung!
"Kwee-kongcu..." kata pula Liu Sian melihat pemuda itu diam saja
seperti patung, dalam hatinya geli bukan main.
“A... oh..., Liu-siocia (Nona Liu), tidak patut
saya menerima penghormatan ini...!" jawabnya gagap sambil cepat-cepat
mengangkat kedua tangannya ke depan dada. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika
ia merasa betapa angin pukulan menyambar dari arah kedua tangan gadis yang
dirangkap di depan dada itu.
Angin pukulan yang mengandung hawa panas dan yang
tentu akan cukup membuat ia terjungkal dan terluka hebat. Alangkah kecewanya
hati Kwee Seng! Dara juwita ini, yang dalam sedetik telah membuat perasaannya
morat-marit, yang kecantikannya memenuhi semua seleranya, menguasai seluruh
cintanya, ternyata memiliki watak yang liar dan ganas!
Sekilas teringat lagi ia akan pembunuhan tujuh
orang pemuda tak berdosa dan seketika itu Kwee Seng merasa jantungnya sakit. Ia
masih terpesona, masih kagum bukan main melihat dara jelita ini, namun
kekaguman yang bercampur kekecewaan. Maka ia pun cepat mengarahkan tenaga ke
arah ke dua tangannya yang membalas penghormatan.
"Aiiihhh...! Mengapa Kwee-kongcu demikian
sungkan? Penghormatan kami sudah selayaknya!" kata Liu Lu Sian yng berseru
untuk menutupi kekagetannya ketika angin pukulan yang keluar dari pengerahan
sin-kang di kedua tangannya membalik seperti angin meniup benteng baja.
Gadis ini sambil tersenyum manis menyambar guci
arak pilihan dari tangan pelayan bersama sebuah cawan perak, lalu menuangkan
arak ke dalam cawan itu. Cawan sudah penuh, terlampau penuh akan tetapi
anehnya, arak di dalam cawan tidak luber, tidak membanjir keluar. Permukaan
arak melengkung ke atas berbentuk telur.
Dengan tangan kanan memegang cawan yang terisi
arak itu Liu Lu Sian berkata,"Kehadiran Kwee-kongcu merupakan kehormatan
besar, harap sudi menerima arak sebagai tanda terima kasih kami."
Kembali Kwee Seng tertegun. Dara juwita ini tidak
saja cantik seperti bidadari, akan tetapi juga memiliki kepandaian hebat.
Sin-kang yang diperlihatkan kali ini lebih halus, sehingga bagi orang biasa
tentu merupakan perbuatan yang tak masuk akal, seperti sihir.
Download versi lengkapnya disini :
9. Suling Emas Hal : 401 - 450
0 Comments