Serial Bu Kek Sian Su (4)
Episode 1
Mutiara Hitam
Jalankecil itu menuju ke kota Tai-goan. Jalan yang buruk dan becek,
apalagi karena waktu itu musim hujan telah mulai. Udara selalu diliputi awan
mendung, kadang-kadang turun hujan rintik-rintik, sambung menyambung
menciptakan hawa dingin. Seperti biasa, segala keadaan di dunia ini selalu
mendatangkan untung dan rugi, dipandang dari sudut kepentingan masing-masing.
Para petani menyambut hari-hari hujan dengan penuh kegembiraan dan harapan,
karena banyak air berarti berkah bagi mereka. Akan tetapi di lain fihak, para
pedagang dan pelancong mengomel dan mengeluh karena pekerjaan atau perjalanan
mereka terganggu oleh jatuhnya hujan rintik-rintik yang tak kunjung henti.
Hujan rintik-rintik membuat
jalan kecil itu sunyi. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang yang melakukan
perjalanan melalui jalan kecil itu lebih suka menunda perjalanan, beristirahat
di warung-warung sambil minum arak hangat, di kuil-kuil atau setidaknya di
bawah pohon rindang, pendeknya asal mereka dapat terlindung dari hujan.
Kalaupun ada yang melakukan perjalanan melalui jalan kecil itu di waktu hujan
rintik-rintik menambah dingin hawa udara pagi itu, mereka tentu bergesa-gesa
agar cepat tiba di tempat tujuan. Beberapa ekor kuda dibalapkan lewat, jupa
serombongan kereta lewat dengan cepatnya melalui jalan kecil, sejenak
memecahkan kesunyian dengan suara roda kereta, derap kaki kuda dan cambuk,
diseling suara pengendara yang menyumpah jalan buruk dan hawa dingin.
Akan tetapi pada pagi hari itu,
seekor kuda kurus berjalan perlahan melalui jalan kecil itu. Kuda yang kurus
dan buruk, berjalan seenaknya seakan-akan menikmati air hujan yang berjatuhan
jarang di atas kepalanya. Warna kulit kuda ini agaknya dahulunya merah, kini
penuh debu basah sehingga warnanya menjadi coklat dan kotor. Penunggangnya sama
dengan kudanya dalam menghadapi gangguan hujan. Tidak merasa terganggu sama
sekali. Duduk di atas punggung kuda sambil meniup suling! Aneh, mana ada orang
lain berhujan-hujan meniup suling?
Laki-laki itu tinggi tegap,
usianya tentu mendekati lima puluh tahun. Raut wajahnya tampan dan gagah,
pandang matanya sayu namun bersinar tajam. Kepalanya terlindung sebuah topi
lebar, terbuat dari anyaman rumput dan sudah butut, robek-robek pinggirnya.
Pakaiannya longgar dan amat bersih, akan tetapi sudah terhias tambalan di
beberapa tempat. Biarpun keadaan orang dan kudanya membayangkan kemelaratan
dan sama sekali tidak menarik, namun suara sulingnya luar biasa sekali. Sayang
bahwa tiupan suling seindah itu tidak pernah terdengar orang karena setiap kali
bertemu orang, laki-laki di atas kuda kurus ini selalu menghentikan tiupan
sulingnya. Agaknya ia tidak suka kalau tiupan sulingnya didengar orang.
Setelah keluar dari sebuah hutan
kecil yang gelap, laki-laki itu menghentikan kudanya. Sepasang mata yang
terlindung topi lebar itu memandang ke kanan kiri. Hutan terganti kebun dan
sawah. Beberapa orang petani sibuk bekerja di ladang, agak jauh dari jalan
kecil itu. Laki-laki itu tampak tertarik dan sejenak wajah yang tampan itu
berseri. Kemudian ia menarik perlahan kendali kudanya. Binatang kurus itu
berjalan lagi, seenaknya. Hujan gerimis sudah mereda, tinggal kecil dan
jarang, sebentar lagi juga berhenti. Di timur, sinar matahari mulai menerobos
awan tipis mengusir dingin. Laki-laki itu sejenak memandang ke arah matahari
yang belum menyilaukan mata, lalu mulutnya bernyanyi!
"Syarat memimpin negara dan
dunia
adalah sembilan kebenaran
memperbaiki diri sendiri
menghargai orang bijak dan pandai
mencinta sanak keluarga
menghormat pembesar tinggi
mengasihi pembesar rendah
mencinta rakyat seperti anak
mengundang ahli-ahli bangunan
menghibur pengunjung dari jauh
mengikat persahabatan dengan negara lain!”
Sambil bernyanyi, laki-laki itu
melakukan gerakan-gerakan aneh dengan sulingnya. Setiap kata-kata ia barengi
dengan gerakan suling yang kalau diperhatikan merupakan gerakan menulis
kata-kata itu, menulis di udara dan sungguh aneh, setiap gerakan menulis ini
mengakibatkan suara angin melengking yang berbeda-beda! Andaikata pada waktu
itu terdapat seorang ahli silat tinggi yang menyaksikan gerakan-gerakan ini,
tentu dia akan terheran-heran dan merasa kagum karena selain melihat gerakan
luar biasa, juga akan merasa betapa dari gerakan ini keluar hawa pukulan
mujijat! Akan tetapi, kalau gerakan-gerakan sambil bernyanyi itu terlihat oleh
orang biasa, tentu ia akan mengira bahwa laki-laki berkuda itu seorang yang
miring otaknya.
Melihat keadaannya yang melarat,
tak seorang pun akan mengira bahwa laki-laki ini sesungguhnya adalah seorang
pendekar besar, seorang pendekar sakti yang pada belasan tahun yang lalu amat
terkenal dan sukar dicari tandingnya. Jarang ada orang yang mengetahui namanya,
dan para tokoh dunia persilatan hanya mengenalnya sehagaiSULING EMAS .
Telah belasan tahun dunia persilatan kehilangan tokoh ini dan tidak seorang pun
tahu ke mana perginya. Dahulu orang mengenal Kim-siauw-eng (Pendekar Suling
Emas) sebagai seorang laki-laki yang tinggi tegap dan tampan gagah, pakaiannya
terbuat daripada sutera halus berwarna hitam, dengan sulaman benang emas
menggambarkan bulan dan sebatang suling di bagian dadanya. Dahulu, belasan
tahun yang lalu, sepak terjangnya amat mengagumkan kawan maupun lawan. Mulia
seperti malaikat bagi yang tertolong, hebat mengerikan seperti iblis bagi
penjahat yang dibasminya. Itulah dia Suling Emas!
Akan tetapi laki-laki setengah
tua yang menunggang kuda kurus itu, yang pakaiannya membuat ia lebih patut
disebut jembel, sama sekali tidak memperlihatkan bekas bahwa dialah
sesungguhnya Suling Emas. Jauh bedanya bagaikan bumi dengan langit. Suling yang
tadi ditiupnya kini berselubung tembaga di luarnya, merupakan suling biasa.
Hanya seorang ahli kalau melihat gerakan-gerakannya sambil bernyanyi tadi, akan
mendapat kenyataan bahwa selama belasan tahun bersembunyi ini, kepandaian
Suling Emas tidaklah mundur, bahkan makin hebat. Gerakan-gerakannya tadi sama
sekali bukan gerakan seorang gila hendak menari, melainkan gerakan Ilmu Silat
Hong-in-bun-hoat, yaitu Ilmu Silat Sastra Awan dan Angin yang berdasarkan
gerakan penulisan huruf-huruf dari kitab Tiong-yong! Nyanyiannya tadi adalah
ayat-ayat dari kitab Tiong-yong. Jangan dikira bahwa gerakan-gerakan itu
hanyalah gerakan sembarangan, karena setiap huruf yang ditulis, merupakan gerakan
lihai sekali, baik dalam bentuk serangan maupun dalam bentuk tangkisan.
Kuda kurus itu berjalan terus.
Sinar matahari pagi kini mencipta suasana cerah dan indah. Burung-burung
berkicau menambah keindahan suasana. Lalu lintas mulai ramai setelah kini hujan
berhenti dan tembok kota Tai-goan sudah tampak dari jauh, Suling Emas tidak
bernyanyi lagi, tidak pula meniup sulingnya. Bahkan sulingnya, kini tersembunyi
di balik bajunya yang penuh tambalan. Ia menunduk, tidak memperhatikan
orang-orang yang lewat dan bersimpang jalan dengannya. Sudah terlalu lama ia
mengasingkan diri, perhatiannya terhadap manusia dan dunia menipis.
Kadang-kadang ketenangannya terganggu oleh batuk. Apabila serangkaian batuk
menyerangnya, mulutnya membayangkan rasa nyeri yang ditahan-tahan. Dan
rangkaian batuk yang menyesakkan dada ini membuat ia kecewa.
Suling Emas kecewa akan dirinya
sendiri. Percuma saja belasan tahun ia menyembunyikan diri. Ia dapat
bersembunyi daripada dunia ramai, namun ia tidak dapat bersembunyi daripada
pikiran dan hatinya sendiri! Kemanapun juga ia pergi, ke puncak-puncak gunung
yang sunyi, ke dalam guha-guha yang sepi di mana tidak nampak bayangan manusia
lain, pikiran dan perasaan hatinya selalu mengejarnya. Bayangan wajah
wanita-wanita yang pernah merampas hatinya, selalu menggodanya. Ia
mempergunakan kekuatan dan kekerasan hati, menekan semua itu, namun hasilnya
merusak jantungnya sendiri. Suling Emas selama belasan tahun hidup bersengsara,
hidup nelangsa, hidup menyiksa batin sendiri, korban asmara!
Ketika kudanya berjalan
perlahan, bermacam kenangan memenuhi kepalanya, kenangan yang timbul dari
serangkaian batuk yang menyerangnya tadi. Karena serangan batuk ini
mengingatkannya kembali akan keadaan dirinya. Teringatlah ia akan nasib ayah
bundanya, nasib gurunya. Mereka itu, orang-orang tua yang tidak sempat ia balas
dengan kebaktian itu, yang telah lama meninggalkannya seorang diri di dunia
ini, juga mengalami nasib buruk dalam cinta kasih. Ayah bundanya gagal dalam
cinta kasih sehingga bercerai sampai mati. Kemudian gurunya yang tercinta,
gurunya yang menjadi pula pengganti ayah bundanya, mengalami kegagalan asmara
yang lebih pahit pula. Kasihan gurunya Kim-mo-Taisu, pendekar sakti yang patah
hati!
Suling Emas kembali menarik
napas panjang, tangan kirinya membenamkan topinya makin dalam. Matahari di
sebelah kanannya mulai menyilaukan mata dan topinya amat baik untuk melindungi
matanya dari sinar matahari. Ia termenung kembali, tampaknya melenggut ngantuk
di atas punggung kudanya. Betapapun sengsara orang tua dan gurunya menjadi
korban asmara gagal, jika dibandingkan dengan apa yang ia alami, mereka itu
masih mendingan! Terbayang wajah wanita yang menjadi cinta pertamanya, gadis
yang terjungkal ke dalam jurang dan tewas pada saat mereka berdua sedang
bertunangan! Kemudian wajah cintanya yang kedua, yang kini menjadi nyonya
pangeran, hidup mewah dan mulia bersama suami dan anak-anaknya! Akhirnya
terbayang pula wajah cintanya yang ketiga, atau yang terakhir, wajah Kam Lin
Lin, atau lebih tepat sekarang disebut Ratu Yalina, ratu suku bangsa Khitan di
utara!
“Ahh, bodoh!” Suling Emas
menyendal kendali kudanya merasa gemas kepada dirinya sendiri yang ia anggap
amat lemah. “Engkau sudah tua bangka berpikir yang bukan-bukan!” Di dalam
hatinya ia menyumpahi diri sendiri. Lamunan-lamunan, kenangan-kenangan, dan
pikiran macam itulah yang selalu mengejar dan menggodanya, kemanapun juga ia
pergi, sehingga akhirnya timbul batuk yang menggeroti dadanya.
Kalau sudah terganggu oleh
kenang-kenangan seperti itu hatinya serasa diremas, terasa sakit dan perih,
semangatnya melemah dan seluruh tubuhnya lelah, membuat ia malas dan
satu-satunya keinginan hanya tidur, kalau mungkin tidur selamanya tanpa sadar
lagi! Sebuah kuil tua di pinggir jalan, di luar kota Tai-goan menarik hatinya
karena ia melihat tempat mengaso yang enak dalam kuil tua itu, di mana ia dapat
mengaso dan tidur memenuhi keinginan hatinya. Dibelokkannya kuda kurus itu ke
kiri memasuki pekarangan kuil tua yang penuh rumput, seperti juga kuilnya
sendiri yang sudah kosong dan tidak terpelihara, pekarangan itupun kotor penuh
rumput. Akan tetapi hal ini menguntungkan bagi kuda kurus yang terus saja
melahap rumput hijau di depan kuil. Kuda itu dilepas begitu saja oleh Suling
Emas yang memasuki kuil dengan mata setengah tidur! Tanpa menoleh ke kanan
kiri tanpa mempedulikan beberapa orang pengemis yang duduk di sudut ruangan
depan, ia terus melangkah ke dalam, mengebut-ngebutkan ujung baju membersihkan
lantai di sudut yang kosong, lalu duduk bersandar dinding, terus melenggut
tidur! Hanya dengan istirahat beginilah batuk yang menyerangnya menjadi
berkurang.
Mengapa pendekar sakti seperti
Suling Emas sampai menjadi begini? Padahal, kalau ia menghendaki kedudukan,
Kerajaan Sung akan membuka kesempatan sebesarnya kepada Suling Emas, tokoh yang
sudah banyak dikenal, bahkan Kaisar sendiri memberi penghargaan kepada Suling
Emas, memberi izin istimewa kepada Suling Emas, untuk memasuki istana setiap
saat sesuka hatinya! Selain ini, juga para pimpinan Beng-kauw yang menjadi
orang-orang paling berpengaruh di samping Kaisar Nan-cao, juga akan
menerimanya dengan tangan terbuka. Betapa tidak? Suling Emas adalah cucu
keponakan dari ketua Beng-kauw! Mengapa ia menolak semua kemuliaan ini dan
memilih penghidupan miskin, terlantar, patah hati dan terserang penyakit?
Para pembaca cerita“SULING
EMAS” dan cerita“CINTA BERNODA DARAH” tentu masih ingat betapa parah
cinta kasih yang gagal merobek hati Suling Emas.
Cintanya yang terakhir
lebih-lebih lagi menghancurkan hatinya. Ikatan cinta kasih antara dia dan Ratu
Yalina, amatlah erat. Masing-masing telah saling mencinta, bahkan Ratu Yalina
tadinya rela mengorbankan kedudukannya untuk menjadi isterinya. Namun, Suling
Emas terpaksa menolaknya. Menolak karena pertama, Suling Emas sebagai seorang
tokoh besar di dunia kang-ouw tentu saja dimusuhi banyak orang, apalagi karena
mendiang ibunya sewaktu hidupnya telah mengakibatkan banyak permusuhan dengan
orang-orang dunia persilatan. Ia tidak mau menyeret Yalina dalam hidup penuh
bahaya dan permusuhan. Kedua, Yalina adalah puteri angkat ayahnya, jadi masih
adik angkatnya sendiri, sehingga kalau mereka berdua berjodoh, tentu akan
menjadi bahan ejekan dan cemoohan, mencemarkan nama baik keluarganya. Ketiga,
suku bangsa Khitan amat membutuhkan bimbingan Ratu Yalina untuk memperkuat
kembali suku bangsa itu. Inilah sebabnya mengapa ia rela berpisah dari
kekasihnya itu, rela hidup merana dan menderita tekanan batin.
Baca Cerita Lengkap Bu Kek Sian Su, Episode Mutiara Hitam download disini.
0 Comments